BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara membangun yang perekonomiannya masih bersifat terbuka, yang
artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Selain faktor dari luar,
salah satu penyebab krisis yang terjadi di Indonesia juga berasal dari dalam
negeri, yaitu proses integrasi perkonomian Indonesia ke dalam perekonomian
global yang berlangsung dengan cepat dan kelemahan fundamental mikroekonomi
yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya
sektor perbankan, dan masih banyak faktor-faktor lainnya yang berperan
menciptakan krisis di Indonesia.
Awal-awal
menjelang Krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan
perkembangan yang baik, yang artinya tidak ada tanda-tanda yang terlalu merisaukan
atau memberi tanda krisis yang serius akan menerpa. Sejak akhir dasawarsa
1980-an pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 8% per tahun pada
pertengahan 1997 tumbuh dengan laju tahunan 7,4%. Justru kepanikan terjadi
karena adanya peningkatan harga yang sangat tajam barang-barang dan jasa
akibatnya melemahnya kurs rupiah terhadap dollar.
Salah
satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak,
Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu
besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk
kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim
yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang membangun,
yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang
hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas
dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar
negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di
Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi
defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi
yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign
debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga
menjadi beban yang terus menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah
terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
Pertengahan
tahun 1997 Indonesia telah mengalami krisis moneter yang disebabkan oleh
berbagai faktor diantaranya besarnya jumlah hutang swasta jangka pendek dan
menengah serta utang-utang pemerintah yang menyebabkan nilai tukar Rupiah
tertekan, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten, membesarnya
defisit neraca berjalan dan terdepresiasinya mata uang Bath dan berimbas pada
nilai dollar. Di Indonesia hal ini juga membuat terjadinya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap Rupiah sehingga masyarakat menyerbu Dollar untuk
mengamankan kekayaanya.
Dengan
adanya krisis ekonomi tersebut kinerja perbankan Indonesia terus menunjukkan
perkembangan yang memburuk. Hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan
masyarakat dengan terjadinya penarikan besar-besaran. Berdasarkan data Bank
Indonesia, Jumlah pinjaman luar negeri pasca krisis pun meningkat yaitu pada
tahun 2000 dalam juta dollar sebesar US$ 133.073,00 padahal sebelumnya pada
tahun 1998 dan 1999 jumlah utang luar negeri Indonesia adalah US$ 20.567,00 dan
US$ 110.934,00.
Pasca
awal terjadinya krisis, yaitu tahun 1999 pemerintah sudah mengambil langkah
seribu untuk menambah jumlah hutang atau pun pinjaman dari pihak asing.
Meningkatnya jumlah pinjaman pada tahun 2000 yakni sebesar US$ 133.073,00
terjadi karena adanya tindakan pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah
terhadap mata uang asing sehingga hal ini membutuhkan cadangan devisa yang
sangat besar, sementara cadangan devisa sebelumnya sudah terkuras untuk
menghadapi kepanikan masyarajat yang secara beramai-ramai membeli dollar secara
besar-besaran dengan asumsi dollar akan naik lagi.
Indonesia
sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan
pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data
dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun
1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di
tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun
pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama
yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing
tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%.
Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan
kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus
meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun,
pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan
krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan
tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka
pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan
semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang
semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US
Dollar. Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya
dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat
diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang
terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif,
jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut
di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam neraca pembayaran
yang dalam hal ini adalah utang luar negeri (foreign debt) turut mempengaruhi
keadaan perekonomian di suatu negara. Negara-negara yang umumnya merupakan
negara yang sedang berkembang masih terus berusaha untuk menyempurnakan ekonomi
internasionalnya.
Dampak
utang luar negeri (foreign debt) pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi banyak
dipertanyakan orang. Beberapa pengalaman dan bukti empiris juga telah
menunjukkan bahwa sejumlah negara yang memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk
melaksanakan pembangunannya dapat berhasil dengan baik. Dalam berbagai model
analisis regresi, jarang ditemukan dampak positif utang luar negeri terhadap
pertumbuhan ekonomi. Bahkan dengan model tertentu, terlihat bahwa utang luar
negeri justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bagi
negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan
kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana
pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan
suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan
makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai
tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun
karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional
yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat
besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha
meningkatkan investasi.Investasi ini tidak jarang berasal dari luar negeri maupun
dari pemerintah dengan mengandalkan hutang-hutang.
1.2 Perumusan
Masalah
Dari
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa rumusan
masalah yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian dalam penelitian yang akan
dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah penulisan skripsi ini. Selain itu,
perumusan masalah ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan di
akhir penulisan skripsi. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah
terdapat hubungan timbal balik antara utang luar negeri dengan pertumbuhan
ekonomi Indonesia?
2. Apakah
terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia?
3. Bagaimana
hubungan antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
sebelum dan sesudah krisis ekonomi ?
1.3 Tujuan:
Adapun tujuannya
adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui hubungan timbal balik antara utang luar negeri dan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia
2. Untuk
mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia
3. Untuk
mengetahui pengaruh Utang luar negeri (foreign debt) terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter
BAB
II
TEORI
PEMBAHASAN
2.1 Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau
pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang
bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain
adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita.
Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output
riil per orang.
Suatu
perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah barang
dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara
dapat diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai PDB ini
digunakan dalam mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu negara.
Perubahan
nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang
dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal
ukuran PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan Nasional (National
Income). Defenisi PDB yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai
sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik
atau agregat.
Salah
satu kegunaan penting dari data-data pendapatan Nasional adalah untuk
menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke
tahun. Dalam penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang
berlaku pada tahun tersebut.Apabila menggunakan harga berlaku ,maka nilai
pendapatan nasional menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan oleh pertambahan barang dan jasa dalam
perekonomian serta adanya kenaikan-kenaikan harga yang berlaku dari waktu ke
waktu. Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni perhitungan pendapatan
nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun (tahun dasar)
yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada
tahun-tahun beriutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga
tetap ini dinamakan pendapatan nasional riil.
Teori
pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa
yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang,dan penjelasan
mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain,sehingga
terjadi proses pertumbuhan.Jadi,teori pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah
suatu “caritera” (yang logis) mengenai bagaimana proses pertumbuhan terjadi.
1. Teori
Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Teori
ini dikembangkan oleh Abramovitz dan Solow yang mengemukakan bahwa pertumbuhan
ekonomi tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi. Teori ini pada
hakekatnya menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tergantung pada
faktor-faktor berikut, yakni :
- Pertambahan modal dan produktifitas marginal
- Pertambahan
tenaga kerja dan produktifitas tenaga kerja margina
- Perkembangan
tekhnologi
2. Teori
Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik
Pada
bagian ini akan dijabarkan teori pertumbuhan yang diakui oleh ekonomikawan
modern, atau lebih dikenal dengan teori pertumbuhan neo klasik. Kita akan
melihat tahapan demi tahapan atas penjelasan terhadap teori pertumbuhan ekonomi
tersebut. Teori ini juga merupakan teori yang mendasari penelitian ini yaitu
teori Harrod-Domar dan Sollow-Swan yang membahas tentang bagaimana capital,
output, dan tekhnologi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
2.2 Krisis
Moneter
Krisis
moneter yang melanda Indonesia sejak awal juli 1997 selama kurun waktu setahun
telah berubah menjadi krisis ekonomi yakni melumpuhnya kegiatan ekonomi karena
semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang
menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya
krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional
yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan
panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah
sepanjang 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di
Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan
Mei 1998 lalu dan kelanjuannya.
Krisis
moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat yang tercermin dari pertumbuhan yang cukup tinggi, laju
inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran
secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung
membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar,
realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik
ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan
domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan
ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya
transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana
luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor
swasta banyak meminjam dana luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge.
Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua
kelemahan ini masih mempu ditampung oleh perekonomian nasional.
2.2.1 Krisis
Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab
dari krisis ini bukanlah fundamental Indonesia yang selama ini lemah, tetapi
terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar.
Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melakukan sektor luar negeri,
khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh
dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya
nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan
secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang
swasta luar negeri dalam jumlah besar.Seandainya tidak ada serbuan terhadap
dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro,
ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain,walaupun
distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada
gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena
cadangan devisa yang tidak ada dan todak cukup kuat untuk menahan gempuran ini.
Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab
lainnya yang datangnya saling bersusulan.Analisis faktor-faktor penyebab ini
penting, karena penembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnose.
Penyebab
utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor
satu-satnya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menuru sisi pandang
masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor
tersebut menurut urutan kejadiannya :
1) Dianutnya
sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya.
2) Tingkat
deoresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2.4% hingga 5.8% antara
tahun 1988 hinggan 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan
nilai rupiah secara komulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari
kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan dan produk dalam negeri yang
semakin lama semakin kalah bersaing dengan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik.
3) Akar dari
segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan berat karena tidak tersedianya
devisa yang cukup untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya,
ditambah sistem perbankan nasional yang lemah.
4) Permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak
mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia
pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal
relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
5) Kebijakan
fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita
batas intervensi.
6) Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju peningkatan
impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga
pinjaman.
7) IMF tidak
membantu sepenuh hati dan terus menunda penguncuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik.
8) Terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik
keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.
Dalam
menghadapi tekanan depresiatif yang kuat pada kurs rupiah sejak bulan Juli
1997, beberapa kebijakan bank sentral telah digulirkan seperti pelebaran
kisaran intervensi dan pengetatan likuiditas perbankan dengan menaikkan tingkat
diskonto SBI. Dengan semakin meningkatnya tekanan kepada kurs rupiah, pada
pertengahan Agustus 1997, telah diambil kebijakan penentuan kurs berdasar pada
sistem mengambang bebas.
Seiring
dengan kebijaksanaan moneter yang ketat yang diarahkan untuk mengurangi tekanan
permintaan terhadap devisa, ditempuh kebijaksanaan fiskal yang juga bersifa
kontraktif. Sejumlah proyek-proyek pembangunan untuk TA 1997/98 dijadwalkan
kembali pelaksanaanya. Di samping itu juga dilakukan penghematan terhadap
pengeluaran yang bersifat non fisik. Perlakuan khusus berupa bantuan keuangan
dan fasilitas kredi untuk industri strategis tertentu juga ditiadakan. Namun
nilai tukar rupiah terus merosot, demikian pula dengan kondisi keuangan dan
perekonomian.
Untuk mengatasi
masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997, disusun kebijaksanaan dan program
penyehatan ekonomi dan keuangan, yang didukung oleh Dana Moneter Internasional
Program
reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan diperkuat lagi pada
pertengahan Januari 1998, dan dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan
Keuangan (DPK-EKU) guna mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program
tersebut. Pada bulan Januari pula, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
dibentuk untuk memperbaiki kepercayaan terhadap perbankan nasional.
Dengan
terjadinya krisis politik pada bulan Mei 1998 dan meluasnya krisis ekonomi,
Memorandum tambahan tersebut disempurnakan pada bulan Juni 1998. Untuk
memperkuat pengendalian moneter, sistem penentuan suku bunga SBI diubah dari
penentuan secara administratif menjadi sistem lelang mulai bulan Juli 1998.
Di
bidang keuangan negara, sebagai akibat situasi perekonomian yang terus memburuk
tersebut, pemerintah bersama-sama DPR pada bulan Juni 1998 melakukan revisi
APBN 1998/1999 yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir. Di tengah situasi
perekonomian yang semakin memburuk, revisi APBN ini dititik beratkan pada
pemanfaatan anggaran negara untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social
safety net), memperbesar enyerapan tenaga kerfja dan meningkatkan produksi
pangan.
2.3 Utang Luar
Negeri (Foreign Debt)
Utang
luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh pemerintah
negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk
memberikan pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali dan membayar
bunga pinjaman tersebut.
Adapun
bentuk-bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas :
1. Pinjaman
dengan syarat pengembalian
a. Hadiah/Grant:
yaitu bantuan luar negeri yang tidak bersyarat pengembalian atau pelunasannya
kembali.
b. Pinjaman Lunak
: yaitu pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana jangka waktu
pengembaliannya antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun dan tingkat bunga antara
0 sampai dengan 4,5 persen per tahun.
c.
Pinjaman/Kredit Ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor
dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan ekspor. Jangka waktu pembayarannya
adalah 7 tahun sampai dengan 15 tahun da tingkat bunga antara 4 persen sampai
dengan 8,5 persen per tahun.
d. Kredit
Komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat bunga dan
lain-lain sesuai perkembangan pasar internasional.
2.
Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral
a.
Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara
CGI.
b.
Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kreditndari peserta IBRD, IDA,
UNDP, ADB, dan lain-lain
3.
Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa
a. Bantuan
program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau dalam bentuk
devisa kredit.
b. Bantuan
Proyek: yaitu bentuan yang diperoleh untuk pembiyaan dan pengadaan barang/jasa
pada proyek-proyek pembangunan.
c. Bantuan
Tekhnik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaa-tenaga
Indonesia yang dilatih di luar negeri.
Sumber-sumber
pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap tahun
anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari:
1. Pinjaman
Multilateral
Pinjaman
multilateral sebagian besar diberikan dalam satu paket pinjaman yang telah
ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri antara pemerintah dengan
lembaga keuangan internasional untuk membina beberapa pembangunan proyek
pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam (IDB), dan beberapa lembaga
keuangan regional dan internasional.
2. Pinjaman
Bilateral
Pinjaman
bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara –negara yang
tergabung dalam negara anggota Consultative Group On Indonesia (CGI) sebagai
lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI.
2.3.1 Latar
Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri
Dari
perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi
dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut
adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi
motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu
dengan yang lainnya.
Sebagai
negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri
dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung
pada komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang
mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar
negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi
dana pembangunannya.
Di
era globalisasi dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping
pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan
pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit
diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam
pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya peran pohak swasta dan
langkahnya pinjaman resmi yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu, tidaklah
heran untuk masa perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada
meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial.
Banyak
pihak yang mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun
pinjaman swata cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia,
baik pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban
Indonesia dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa
indikator dalam mengukur beban utang, seperti:
• Debt service
Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban membayar untang dan
cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor.
• Debt to Export
Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor.
• Debt to GDP
Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB.
Pinjaman luar
negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya mata
uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan program.
Bantuan proyek diberikan dalam bentuk pinjaman berupa peralatan-peralatan,
barang-barang ataupun jasa (konsultan asing), sedangkan bantuan program
diberikan dalam bentuk bantuan tunai.
2.3.2. Teori
Utang Luar Negeri
Meskipun
demikian perannan dana bantuan luar negeri dan modal asing terhadap kemajuan,
pertumbuan dan pembangunan ekonomi negera berkembang telah lama menjadi
perdebatan hangat diantara kelompok-kelompok perdagangan dunia. Sekelompok
ekonom pada tahun 1950-an dan 1960-an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan
luar negeri mempunyai dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu
negera tanpa menimbulkan gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara
debitor tersebut. Pengalaman keberhasilan pembangunan kembali perekonomian
negara-negara Eropa Barat melalui Marshal Plan seperti telah disinggung,
menjadi dasar kelompok tersebut menganjurkannya diterapkan dinegara-negara
berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses penganjurannya adalah
bantuan luar negeri akan menambah sumber-sumber produktif tanpa menimbulkan
dampak substitusi terhadap hubunga domesti, dan tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap alokasi dan efisiensi sumber daya terutama tingkat efisiensi
dalam penggunaan modal.
Pengalaman
seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teoriyang dikembangkan oleh Sir
Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dikenal dengan teori Harrod-Domar. Teori yang
berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan
selanjutnya dikembangkan oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan
Strout, dan lain-lain pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran
mereka seperti yang diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) dapat
dikelompokkan ke dalam empat pemikiran mendasar.
Pertama,
sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang
berkembang sebagai suatu dasar yang signifikan untuk memacu kenaikan investasi
serta pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang subtansial
dalam struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan
penting mobilisasi sumber dana dan transformasi struktural. Keempat, kebutuhan
akan modal sing akan menjadi menurun setelah perubahan struktural terjadi.
Pemikiran
di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di
negara-negara sedang berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya
proses pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi bantuan
luar negeri tidak lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap (complementary
factor), tapi telah menjadi sumber utama dalam pembiyaan pembangunan.
Pertimbangan
suatu negara atau perusahaan melakukan pinjaman luar negeri dipengaruhi oleh
beberapa hal, yang dapat dikategorikan dalam 2 faktor pendorong masuknya dana
ke dalam negeri (push factors) dan faktor internal yang menarik dana masuk
(pull factors).
Yang merupakan
push faktor antara lain adalah :
a. Perbedaan
tingkat suku bunga US (Dollar Amerika Serikat dan negara-negara maju)
b. Capital market
yang terintegrasi
c. Kelebihan
likuiditas di pasar internasional
d. Variasi
produk financing
e. Keterbatasan
kemampuan bank untuk menyediakan kredit berjangka menengah penjang
f. Persyaratan
dan prosedur pinjaman yang mudah
g. Kompentensi
dan reputasi bank asing di luar negeri
2.3.3 Beban
Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman Luar
Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan
Beban pembayaran
cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN yang semakin berat
dan arus modal keluar semakin deras menurun, diimbangi peningkatan laju ekspor.
Lebih jauh lagi, investasi pemerintah (belanja pembangunan) semakin tertekan
karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Beban cicilan dan
bunga utang pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk
pengeluaran pos lain. Secara tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya
dengan berkurangnya proporsi pengeluaran untuk pos-spos yang berkaitan dengan
kesejahteraan masyarakat.
Krisis
yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang publik
mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang politik ini separuhnya
adalah utang dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai RP 650 triliun
untuk perbaikan sektor perbankan, serta utang luar negeri yang jumlahnya
mencapai US$ 75 milyar
Masuknya
arus utang luar negeri di tengah utang lama belum mampu di bayar, dan juga
terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali (reschedulling) kontrak yang
sudah dibuat sebelumnya, menjadi sesuatu hal yang tak terelakkan. Dari sisi
pemerintah, dana segar berupa valuta asing dari luar negeri tersebut bukan saja
sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang terjadi dalam APBN-nya,
melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap
mata uang lainnya. Sementar itu, sektor swasta membutuhkan dana tersebut untuk
dapat mempertahankan aktivitasnyam, baik itu meneruskan investasi yang sudah
terlanjur dilakukan atau untuk menjaga pasarnya yang sudah dikuasainya. Dengan
kata lain, di tengah krisis ekonomi dan usaha untuk krisis ini, Indonesia
semakin terjerat dalam jebakan utang (debt trap). Hal ini bisa menimbulkan
persoalan yang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi mengalami krisis
kembali, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap
harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia sangat membutuhkan valuta
asing tersebut, manajemen utang harus sudah di desain dengan melihat kemampuan
membayar jangka panjang.
Jika
Investasi dari luar negeri ini benar-benar terarah pada sektor prodktif dan
dapat menghasilkan devisa pada masa yang akan datang, maka masalah pembayaran
utang tersebut akan dapat diatasi. Namun jika kita mengulangi kesalahan pada
masa yang lalu, maka sejarah akan kembali terulang. Sebab, baik dari sisi
manajemen utang luar negeri pemerintah maupun swasta pada masa lalu sangat
potensial melahirkan ketidakmampuan untuk membayar kembali kewajiban utangnya.
Pembangunan
ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses di mana Produk Domestik
Bruto (PDB) riil maupun pendapat riil per kapita meningkat dalam jangka waktu
tertentu secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (D.
Salvatore dan E.T. Dowling, 1997). Sasaran yang berupa kenaikan tingkat
produksi riil (pendapatan per kapita) tersebut merupakan tujuan utama yang
perlu dicapai dengan menyediakan dan mengerahkan sumber-sumber produksi untuk
itu. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu
bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan pembangunan di negara-negara
berkembang.
Namun
demikian kebijakan pembangunan ekonomi dalam upaya menaikkan tingkat
pertumbuhan output itu merupakan bagian utama dari rencana pembangunan pda
kebanyakan negara berkembang. Hal ini disebabkan karena: (1) pertumbuhan
ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikan
dalam kesejahteraan masyarakat, dan (2) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai
prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, seperti: penyediaan
dan perluasan kesempatan kerja, redisribusi pendapatan dan kekayaan dalam
masyarakat, serta penyediaan fasilitas atau sarana sosial di bidang-bidang
perumahan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya.
Pertumbuhan
ekonomi membutuhkan penyediaan atas pengalokasian sumber-sumber produksi untuk
ditujukan pada proses produksi barang-barang modal yang tidak dipakai untuk
konsumsi langsung, tetapi akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya guna
menghasilkan barang dan jasa. Dengan demikian perlu tersedia modal atau dana
pembiyaan untuk pembangunan nasional yang pada dasarnya berasal dari: (1)
sumber dana modal dari dalam negeri dan (2) sumber daya modal dari luar negeri.
Sumber modal dari dalam negeri adalah berupa tabungan yang diciptakan dan
dihimpun dengan cara mengehmat atau menekan konsumsi sekarang, baik sektor
pemerintah maupun sektor swasta dan masyarakat. Sedangkan sumber modal dari
luar negeri adalah berupa hibah (grant), bantuan atau pinjaman luar negeri dan
penanaman modal asing.
Karena
bantuan luar negeri itu diberikan dengan disertai pemberian konsesi
(concessional) berupa tungkat bunga yang lebih rendah daripada bunga psar
(bunga komersial), maka pada umumnya pinjaman itu disebut sebagai bantuan luar
negeri. Jadi bantuan luar negeri itu mengandung nsure hibah (grant element), di
mana nilai hibah dari bantuan grant yang tidak mengikat adalah sebesar harga
nominalnya (face value), sedangkan nilai hibah dari pinjaman adalah selisih
nilai nominal semula dari pinjaman dengan nilai diskonto sekarang dari
pembayaran pinjaman sebagai presentase dari nilai nominal semula. Dalam
hubungan ini dapat dikemukakan bahwa nsure hiba suatu bantuan akan semakin
besar bilamana tingkat bunga bantuan itu semakin rendah serta masa tenggang
waktu ataupun jangka waktu pelunasannya kembali lebih lama.
BAB III
PEMBAHASAN
4.1.1
Perkembangan Kondisi Makroekonomi Indonesia
Perekonomian
Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter menunujukkan perkembangan yang
cukup menarik. Pertumbuhan ekonomi Pada awal tahun 1995 tercatat 4.70% kemudian
naik menjadi 7.82% pada tahun 1996 dan disusul dengan penurunan akibat krisis
moneter pada tahun 1997 denganpertumbuhan PDB sebesar 4.70. Penurunan
pertumbuhan PDB ini berturut-turut terjadi pada sampai tahun 1999 dengan
penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 0.79%. Hal ini dapat dimaklumi
karena dampak dari krisis moneter yang melanda Negara ini sangat signifikan.
Banyaknya Perusahaan yang gulung tikar, bahkan industri perbankan sekalipun
tidak luput dari terjangan krisis ini. Sehingga terjadi penurunan PDB yang
signifikan. Hanya beberapa saja yang biasa bertahan yaitu pengusaha UKM yang
sedikit mengandalkan perbankan dalam permodalannya, sehingga pengaruh krisis
tidak terlalu besar pada sektor ini.
Sedangkan
tahun 2005 perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat.
Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya
harga minyak dunia dan strukutr pengetatan kebijakan moneter global menyebabkan
upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro
ekjonomi menjadi kendala.
Ketergantungan
kegiatan ekonomi domestik pada impor menyebabkan kondisi perekonomian secara
struktural cukup rentan terhadap perubahan kondisi eksternal. Ekspansi ekonomi
menjadi lebih lambat ketika kegiatan investasi terkendala oleh meningkatnya
biaya produksi akibat kenaikan harga BBM dan belum tuntasnya berbagai
peraturan-peraturan di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur.
Sementara itu, kegiatan konsumsi juga mengalami penurunan karena melemahnya
daya beli mesyarakat dan mulai meningkatkan suku bunga . Di sisi lain, kinerja
ekspor juga belum begitu menggembirakan seiring dengan kondisi permintaan
global yang menurun dan melemahnya daya saing. Untuk keseluruhan tahun 2005,
Bank Indonesia memperkirakan bahwa perekonomian dapat tumbuh sekitar 5,3% -
5,6%.
Dari
stabilitas makro ekonomi, gejolak eksternal harga minyak dunia dan siklus
pengetatan moneter global sangat berpengaruh pada kestabilan makroekonomi
Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia telah mengakibatkan lonjakan kenaikan
permintaaan valuta asing di pasar domestik. Kondisi ini diperberat oleh
penyesuaian portofolio investor asing yang dengan cepat merespon perubahan suku
bunga luar negeri dan masih terbatasnya penanaman modal asing . Dalam pasar
volatilitas nilai rupiah yang cukup tajam. Depresiasi nilai tukar dan kenaikan
harga BBM pada akhirnya telah menyebabkab peningkatanb inflasi secara
signifikan. Dengan perkembangan ini lahju inflasi pada tahun 2005 mencapai
sekitar 18%. Sementara pada akhir inflasi inti mencapai 9,5%.
4.2 Pertumbuhan
ekonomi Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter
Gejolak
ekonomi yang terjadi membawa arus pertumbuhan ekonomi yang bergelombang,
mengingat banyaknya fenomena yang terjadi dalam dekade terakhir. Pertumbuhan
ekonomi di ukur dari Produk Domestik Bruto yang dihitung pertumbuhannya dari
tahun ke tahun berdasarkan atas dasar harga konstan. Besar pertumbuhan ekonomi
ditentukan oleh besar PDB tiap tahunnya, tentu saja factor-faktor yang dapat
mempengaruhi besar PDB sudah pasti akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada
awal tahun penelitian yaitu tahun 1989 kondisi stabilitas moneter pada saat itu
sangat baik, hal ini ditandai dengan indicator ketiadaan ancaman devaluasi, cadangan
devisa yang cukup tinggi tingkat inflasi yang rendah dan terkendali, suku bunga
yang cenderung menurun, serta kurs rupiah yang relative stabil. Kondisi ini
membawa perekonomian Indonesia kea rah yang sangat baik. Terlihat dengan
besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu yaitu 7,46%. Pada
tahun 1989/1990 upaya pemerintah untuk memperkecil angka pengangguran cukup
tinggi, untuk itu pemerintah berhasil memobilisasi dana dalam rangka mendorong
investasi, dengan perangkat kebijaksanaan deregulasi.
Angka
pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya dapat dilihat pada table berikut ini :
Tabel 4.1 Laju
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
TAHUN
|
LAJU
|
TAHUN
|
LAJU
|
1988
|
5.78
|
1999
|
0.79
|
1989
|
7.46
|
2000
|
4.92
|
1990
|
7.24
|
2001
|
3.45
|
1991
|
6.95
|
2002
|
4.38
|
1992
|
6.46
|
2003
|
4.78
|
1993
|
6.49
|
2004
|
5.03
|
1994
|
7.59
|
2005
|
5.69
|
1995
|
4.7
|
2006
|
5.5
|
1996
|
7.82
|
2007
|
6.28
|
1997
|
4.7
|
2008
|
6.06
|
1998
|
-13.
|
Dari data table
di atas maka dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung naik pada saat
sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia. Seperti yang terjadi pada awal tahuh
1988 yaitu pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,78 dan terus naik sampai
1990. Meski turun sebesar 0,92% pada tahun 1991 namun penurunan tersebut masih
dapat dimaklumi karena pada tahun 1990-an pemerintah orde baru berusaha untuk
mewujudkan repelita dan tujuan pembangunan di mana pemerintah masih mengahadapi
banyak kendala dari masyarakat yang masih kurang siap menerima pembangunan,
pengangguran dimana, sistem pendidikan dan fasilitas-fasilitas umum yang masih
kurang memadai membuat smua terlihat kompleks. Pada tahun 80-an hingga 90-an
masyarakat Indonesia mayoritas bekerja di sektor pertanian, oleh karena itu
sektor pertanian menjadi penyumbang utama bagi PDB Indonesia pada masa itu.
Seiring berjalannya waktu tren itu juga berubah, lambat laun sektor pertanian
digeser oleh sektor-sektor lain. Walaupun pada jaman itu sektor pertanian lebih
dominan namun sektor tersebut cukup konsisten dalam meningkatkan PDB Indonesia.
Pemerintah saat itu sangat mendukung sektor pertanian dengan menggalakkan
swasembada pangan dan masih banyak kebijakan-kebijakan yang pemerintah lakukan
untuk mendukung sektor pertanian menjadi sektor yang unggulan.
Setelah
perekonomian Indonesia pulih kembali kesehatannya sejak 1998, pertumbuhan mulai
tampak lebih tingggi dari pertumbuhan dalam periode 1982-1987. Dampak periode
1983-1987 (masa lesu dan sulit) pertumbuhan PDB idak lebih dari 5% rata-rata
per tahun , sedangkan pertumbuhan pada periode 1988-1991 adalah 9% rata-rata
pertahun, suatu sektor pertumbuhan paling tinggi dalam dasawarsa 1990.
Selanjutnya, pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya dalam dasawarsa 1990
adalah 7,3% rata-rata pertahun dalam periode 1991-1994, 8,2% untuk 1995 dan
7,8% untuk 1996, sedangkan pertumbuhan 1997 menjadi lebih rendah dari yang
terjadi dalam 1996, yakni sebesar 7,2% karena terjadi depresi rupiah terhadap
dollar AS yang amat dahsyat, sedangkan untuk 1998 pertumbuhan diperkirakan 4%.
Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadi ekspansi ekonomi
dalam dasawrsa 1990 hal ini ditandai dengan ekspor komoditi yang di dalam
perkembangannya terus menanjak. Menurut data BPS otal ekspor komoditi ( migas
dan non migas) terus meningkat yakni US$ 52,2 milyar , tetapi terhambat pada
tahun 1997, hal ini karena terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian
Indonesia akibat gejolak kurs rupiah yang tidak dapat dihindari. Kesimpulannya,
dasawarsa 1990 bagi perekonomian Indonesia adalah dasawarsa untuk
mempertahankan pembangunan yang berkesinambungan terus (sustainable
development) dan sekaligus sebaai dasawarsa di dalam menyongsong abad ke-21.
Pembangunan yang berkesinambungan atau berkelanjutan diperlukan agar
perekonomian Indonesia tidak terperosok pada resesi ekonomi yang mendalam
seperti dialami pada dasawarsa 1980. Syarat keberhasilan sustainable
development adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terciptanya
pemerataan-keadilan dan lingkungan hidup yang lestari dan terlindungi.
Pada paruh kedua
dasawarsa 1990 krisis ekonomi yang sangat dahsyat melanda perekonomian
Indonesia sumbernya dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
1. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal
dipandang sebagai pemicu terjadinya krisis ekonomi dalam negeri secara luas.
Devaluasi Baht dalam bulan juli 1997 telah memicu kegoncangan kurs mata uang
ASEAN dan Negara-negara Asia Timur. Indonesia terkena devaluasi terparah dari
devaluasi Baht. Kegoncangan kurs mata uang di kawasan Asia Tenggara dan Timur
adalah cermin krisis keuangan di Asia Timur terutema sebagai akibat pergeseran
kapital internasional jangka pendek uang sulit dikendalikan kebijakan ekonomi
masing-masing Negara di Asia Timur. Kurs mata uang yang terus-menerus melemah
akan meyebabkan pelarian capital ( Capital Flight)
2. Faktor
Internal
Melemahnya kurs
rupiah terus menerus selama 18 bulan ( sejak juli 1997) telah membuka tabir
kelemahan perekonomian Indonesia. Ganasnya tindakan KKN di Indonesia yang
semakin tidak terkendali ,kegiatan perekonomian semakin tidak efisien di sektor
public maupun di sektor swasta. Inefisiensi dimana-mana (pemerintah ,BUMN dan
perusahaan swasta) menandakan adanya salah urus ( mismanagenment) disebagian
besar dunia bisnis dan pemerintah.
Akibatnya utang
luar negeri pemerintah maupun swasta semakin banyak bertumpuk dan terutama
swasta semaki tidak mampu melunasi utang dan bunganya.
3. Krisis
Kepercayaan
Krisis
kepercayaan telah memperkuat krisis yang sudah ada. Akibatnya investor asing
secara mendadak memindahkan kepitalnya ke luar negeridan modal dalam negeri
juga banyak dilarikan ke luar negeri. Sebab apabila risiko di dalam negeri
(kerawanan dan ketegangan) semakin tinggi, tidak mustahil arus modal yang
tadinya banyak masuk, secara mendadak berbalik lari ke luar negeri (akibatnya
akan memperlemah kurs rupiah). Iklim bisnis yang sehat dan kompetitif kyrang
tampak pada rejim orde baru. Praktik diskriminasi dalam bisnis menyolok sekali.
Banyak konsensi diberikan kepada gru-grup bisnis tertentu (termasuk bisnis
keluarga) dan pemberiannya tidak transparan seperti konsesi kehutanan, telepon,
dan infrastruktur lainnya. Proteksi khusus diberikan untuk melindungi industry
mobil, pesawat terbang, kapal laut, petrokimia, dan lain sebagainya.
Ketidakpercayaan masyarakat dan bahkan dendam rakyat kepada rejim orde baru
yang tampak pada saat itu mengharuskan pemerintah segera melakukan reformasi
hukum , politik, dan ekonomi.
Dari tabel di
atas dapat kita lihat Indikator-indikator ekonomi makro yang mengalami
perbaikan setelah masa krisis terlewati meskipun masih harus kerja keras lagi
karena hasil ini masih belum memuaskan. Terlihat sekali bahwa pertumbuhan PDB
riil pada tahun 1998 adalah negatif yaitu -13,1 namun hal ini dapat dimaklumi
karena pada tahun sebelumnya yaitu tepatnya pertengahan 1997 Indonesia mendapat
goncangan yang sangat dahsyat dalam perekonomiannya yang berdampak pada semua
system yang di Indonesia. Namun selanjutnya pada tahun 1999 pertumbuhan naik
menjadi 0,8%.
Pertumbuhan pada
tahun 1999 masih sangat lambat karena pengaruh krisis masih sangat terasa pada
saat itu, dimana sendi-sendi penggerak perekonomian tumbang dan perlu waktu
untuk memulihkannya kembali. Namun demikian pada tahun 2002 kinerja ekonomi
Indonesia mengalami perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB.
Seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.2 pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh
4,3 % dibanding 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus
hingga akhir periode tahun 2004 mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164
miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS pada tahun 2004.
Demikian juga pendapatan per kapita meningkat dengan presentase yang cukup
besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS dari 2002 hingga akhir 2004. Kinerja
ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibanding -9,3% tahun
2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca
perdagangan (NP), yakni saldo ekspor (X) – impor (M) barang, maupun transaksi
berjalan (TB), sebaai presentase dari PDB mengalami penurunan.
Perkembangan
perekonomian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor politik, pada bulan-
bulan pertama pemerintahan SBY dan demokrasi, rakyat Indonesia, pelaku usaha
luar dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia
seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia
5 tahun ke depannya akan jauh lebih baik disbanding masa pemerintahan
sebelumnya. Dan hal tersebut terbukti dengan adanya peningkatan pertumbuhan PDB
dari tahun ke tahun hingga tahun 2008, diikuti dengan peningkatan indikator
lainnya seperti pertumbuhan ekspor, impor, neraca perdagangan dan transaksi
berjalan. Namun pada tahun 2005 neraca perdagangan mengalami penurunan sebesar
1% pada tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga BBM di
pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70
dolar per barrel awal Agustus 2005 yang sangat tidak menguntungkan Indonesia.
Tingginya impor BBM menguras cadangan devisa Indonesia apalagi dengan harga
yang melambung tinggi akibatnya pemerintah membuat suatu keputusan yang sangat
tidak populis yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar
meningkat tajam.Tentu saja dampaknya sangat terasa oleh masyarakat kecil dan
industry rumah tangga yang mengandalkan banyak BBM dalam produksinya dan
kemudian Harga-harga barang menjadi mahal. Namun hal itu tidak membat
perekonomian menjadi terpuruk, buktinya pada tahun 2006 dan 2007 TB mengalami
kenaikan yaitu masing-masing 3,0 dan 2,5. Namun pada tahun 2008 dunia dilanda
krisis global yang bermula dari Amerika Serikat yang berdampak pula bagi
pereknomian Indonesia meskipun diprediksi idak separah krisis yang terjadi 10
tahun yang lalu, akibatnya pertumbuhan ekonomi turun sebesar 0,3% dan Transaksi
berjalan turun sebesar -36% menjadi 1,6% dari 2,5% pada tahun 2007.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan di atas mengenai pengaruh utang luar negeri dan variabel dumm
(krisis moneter) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan hubungan
kausalitas antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi , maka penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dari hasil pembahasan di atas, hubungan antara kedua variabel yaitu hutang luar
negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan 2 arah atau feedback, artinya
kedua variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya.
2.
Berdasarkan diatas menunjukkan bahwa
kedua variabel utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomu memiliki hubungan
stasioner pada tingkat second difference yang berarti bahwa terdapat hubungan
jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
3.
Utang luar negeri memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
sebelum dan sesudah krisis moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang
luar negeri yaitu sebesar 0.555. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri
sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.555%, ceteris paribus
Saran
1.
Perkembangan utang luar negeri harus diperhatikan agar tetap berada pada posisi
normal dan menguntungkan pembangunan ekonomi bukan untuk menambah beban
perekonomian di Indonesia. Sebab dalam jangka panjang utang luar negeri dapat
merugikan perekonomian karena risikonya lebih besar. Kondisi perekonomian Indonesia
yang masih rentan terhadap pengaruh dari luar, nilai kurs yang rupiah yang
masih belum stabil menjadi alasan yang sangat penting dan harus dipertimbangkan
oleh pemerintah dalam mengambil langkah melakukan pinjaman luar negeri.
2.
Perkembangan pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya harus diperhatikan agar tetap
stabil peningkatannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Para
pengamat ekonomi Indonesia harus lebih jeli melihat peluang-peluang dalam
rangka meningkatkan PDB dengan cara memperluas lapangan kerja sehingga dapat
merangsang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya meningkatan kesejahteraan
rakyat.
3.
Krisis ekonomi harus tetap diwaspadai karena dapat menghambat laju pertumbuhan
ekonomi dan sendi-sendi perekonomian yang pada akhirnya dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR
PUSTAKA
Baru pinjaman Penawaran !
BalasHapusIni adalah kesempatan pinjaman tanpa jaminan baru lagi, apakah Anda mengalami kerugian finansial? Apakah bisnis Anda menangis demi kebangunan rohani, apakah Anda mencari pinjaman di bank dan tangan pemberi pinjaman yang salah dan Anda di mana menolak? Tidak mencari lagi, Kami adalah pemberi pinjaman yang dapat dipercaya yang menawarkan dari $ 2.000 ke $ 500.000.000, dan kami memprakarsai program pinjaman ini untuk memberantas kemiskinan dan menciptakan kesempatan untuk mendapatkan hak istimewa untuk memungkinkan mereka membangun bisnis mereka sendiri dan menghidupkan kembali bisnis mereka. Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi kami melalui email: gloryloanfirm@gmail.com dan isi formulir di bawah ini.
DATA BORROWER
1) Nama Lengkap: ......... 2) Negara: ...... 3) Alamat: ......... 4) Jenis Kelamin: ..................
5) Status Perkawinan: ... ..... 6) Pekerjaan: .......... 7) Nomor Telepon: ........................... 8) Saat ini posisi di tempat kerja: .... ............ 9) bulanan ...... ...................
10) Durasi Pinjaman: ............... 11) Tujuan Pinjaman: ............... 12) Agama: ............
13) Tanggal lahir: ........................
Mohon melamar perusahaan yang sah, kesuksesan anda adalah tujuan kami.